Rabu, 23 Januari 2013

Lima Bupati Jaman Belanda baru di lantik


Pemandangan jalan di kota Solok (1900-1940)


Pengantin Minang Batipuah Padang Panjang


Gambar ini diambil selama Ekspedisi Sumatera dari 1877-1879. Potret haji (haji), Alahanpandjang


Kampong Padang Jawa 1900-1940


Mantri Kopi Alahan Panjang (1877)


Para Kepala Kaum


Jalan menuju Solok di masa Hindia Belanda


Bus dari Layanan Country Otomotif, Fort de Kock 1928


Gudang batubara di pelabuhan (Emmahaven) Padang di Sumatera Barat.


Pemandangan stasiun Siloengkong Sumatera thn 1880


Pedati tertutup, 1880-1910an


Bukittinggi 1900an


Sianok 1892-1905an


Bukittinggi Masih Sepi 1800an


Lubuak Mato Kuciang 1892-1905an


Bukittinggi 1900-1940


Bukittinggi 1880an


Rumah Gadang












Selasa, 22 Januari 2013

Para Tokoh Minangkabau Jaman Belanda

Abdul Gani Radjo Mangkuto
Koto Gadang
-

Haji Abdul Gadi Rajo Mangkuto

Rusli Amran (1986:201) menyebut orang ini sebagai kingmaker yang tak ada duanya di Sumatra Barat selama paroh kedua abad ke-19. Abdul Gani (lahir di Kotogadang tahun 1817) sudah dari kecil mendapat pendidikan Belanda, berkat bantuan Asisten Residen Steinmetz yang, selain penganjur utama pembukaan sekolah rakyat di darek, juga berhasil memadamkan Pemberontakan Batipuah berkat bantuan penduduk Kotogadang.
Abdul Gani kecil jadi pembantu di rumah Steinmetz. Rupanya dia cerdas dan rajin. Tahun 1856 dia disuruh membantu Van Ophuijsen membuka sekolah guru yang baru didirikan di Fort de Kock. Ia mengajar sebentar di sekolah itu, tapi kemudian cabut dari sekolah itu dan mendalami dunia swasta. Dengan dekingan Steinmentz Abdul Gani berhasil jadi pakus (pakhuis) kopi, jabatan basah pada waktu itu yang banyak sabetannya. Tak lama kemudian Abdul Gani sudah jadi orang kaya dan disegani. Dengan bantuan Steinmetz, dia bersama saudaranya, Abdul Rahman Dt. Dinagari Urangkayo Basa, berhasil menempatkan banyak sanak familinya di sekolah-sekolah rakyat yang baru dibuka dan juga kursi-kursi empuk di jajaran administrasi lokal bentukan Belanda seperti kepala laras, pakus, penghulu kepala, jaksa, jurutulis, dll. Di mana saja di Sumatra Barat ada sanak familinya yang berkuasa.
Berkat naluri bisnisnya yang tajam dan karena berkonco pelangkin dengan para pejabat Belanda, Abdul Gani berhasil meluaskan usaha bisnisnya: ia memenangkan tender pengangkutan kopi di beberapa trayek. Ibarat bos mafia, ia menempatkan orang-orangnya di mana-mana untuk melancarkan usaha bisnisnya. Para pejabat Belanda tak tahan godaan uang semirnya. Belakangan usaha bisnisnya makin melebar, termasuk jasa pengangkutan jemaah haji ke Mekah. Para pebisnis Indo, Cina dan Belanda sendiri gentar juga menghadapi bisnis Abdul Gani. Sumatra Courant edisi 18 Oktober 1876 pernah memuat laporan yang mengandung nada kekhawatiran para pengusaha swasta Belanda menghadapi sepak terjang bisnis Abdul Gani.
Uang dan politik sudah lama berkelindan. Mirip dengan Pilkada sekarang, Abdul Gani menantang Kepala Laras IV Koto, Datuak Kayo, dalam pemilihan kepala laras. Orang ini menyombong bahwa Abdul Gani, walau kaya berlindak, tak akan berhasil menyingkirkan kandidatnya yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Waktu itu perebutan jabatan kepala laras di Minangkabau sangat panas dan penuh intrik: tak lalu dandang di air di gurun ditanjakkan.
Abdul Gani menang: calonnya, yaitu kemenakannya sendiri, St. Janaid, yang baru berumur 16 tahun, diangkat menjadi Kepala Laras IV Koto. Ibarat sebuah rezim yang ditumbangkan, keluarga Datuak Kayo yang sedang menjabat mendadak disingkirkan, digantikan oleh anggota keluarga Abdul Gani. Mereka yang dilengserkan antara lain Jaksa St. Salim di Padang. Saudara Dt. Kayo itu digantikan oleh saudara Abdul Gani, Abdul Rahman Dt. Dinagari.
Abdul Gani meninggal di Kotogadang tanggal 29 Januari 1907. Rusli Amran (1986:205) yang menjadi rujukan tulisan ini menulis: Abdul Gani wajib dicatat sebagai anak Minang terkaya di zamannya. Bisnis dan politik perkoncoan dari dulu sudah ada dan modus operandinya sama saja. Belum yakin jugakah Anda bahwa sejarah sebenarnya memang berulang?
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1986:151).




Djaksa dari Alahan Pandjang 1877-1879


Syekh Djamil Djambek 1862-1947

Bumi Minang dikenal sebagai salah satu daerah yang banyak melahirkan ulama dan tokoh besar hingga tingkat nasional.

     Sebut saja Buya Hamka, Bung Hatta, Tuanku Imam Bonjol, Syekh Ahmad Yasin Al-Padangi, serta Syekh Achmad Khatib Minangkabau. Di antara sekian banyak itu, terdapat pula nama Syekh Djamil Djambek.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Djamil Djambek, putra Muhammad Selh Datuk Maleka. Ia lahir pada pertengahan tahun 1860 M.
Ayahnya waktu itu dikenal sebagai penghulu besar di Guguk Panjang, Bukittinggi. Selain itu, ayahnya juga dikenal berwatak disiplin dalam mendidik anak dan kuat menjalankan agama.
Kepribadian sang ayah sangat kontras dengan Djamil kecil. Dalam buku Perjalanan 29 Ulama Besar Ranah Minang, yang ditulis Ahmad Rifa'i, diterangkan, Djamil muda lebih suka bermain dan berhura-hura.
Disuruh sekolah, malah berhenti. Akhirnya, ia berhenti total sekolah sebelum fasih membaca, menulis latin, apalagi mengaji. Inilah yang membuat Datuk Maleka malu jika si buah hati tidak bisa dididik.
Sejak saat itu, Djamil tidak lagi berada di bawah perhatian ayahnya. Perangainya menjadi-jadi. Suka berpetualang dan akhirnya terjerumus ke dunia hitam. Ia juga makin kenal dengan ilmu sihir hingga menjadi ahli tenung.
Tindakan itu menjadi kebiasaannya. Jika dalam sebuah permainan dirinya kalah, seperti judi, uang yang ada di dalam saku orang yang menang bisa berpindah kembali ke sakunya. Karenanya, yang menang pun akan tak memiliki uang tadi.
Beragam nasihat dari Datuk Maleka tidak diindahkan. Djamil muda enggan meninggalkan dunia hitam hingga memaksa sang ayah mengusirnya dari rumah. Perlakuan ayahnya ini justru diterima Djamil dengan senang hati.
Sejarah hidupnya di dunia hitam kian terang. Tindakan perampokan sering dilakukannya. Tak heran, bila akhirnya masyarakat menjulukinya dengan sebutan Si Jago karena kepandaian dalam merampok, berjudi, dan sebagainya.

Berubah
     Namun, semua itu berubah tatkala ia mengalami peristiwa yang hampir merenggut jiwanya. Ketika itu, ia baru saja merampok rumah orang kaya, tetapi ketahuan oleh orang banyak. Ia dihadang dan dikepung oleh puluhan orang yang membawa senjata tajam. Puluhan sayatan dan tusukan mendera di sekujur tubuhnya yang membuatnya hampir tewas.
Dalam kondisi kritis, tiba-tiba seseorang berseru meminta massa menghentikan aksi mereka. Dialah Tuanku Kayo Mandiangin, seorang ulama terkenal yang sangat dihormati dan disegani di Bukittinggi. Massa akhirnya menuruti permintaan Tuanku.
Sejak saat itulah Djamil tertarik untuk belajar mengaji kepada beliau dan resmi diangkat menjadi murid Tuanku Kayo Mandiangin.
Saat menimba ilmu dari ulama ini, Djamil mengalami perubahan drastis pada dirinya. Bila dulunya ia dikenal sebagai jago rampok, jago judi, dan lainnya, setelah belajar ilmu agama dari Tuanku Kayo Mandiangin, Djamil dikenal sebagai anak yang cerdas. Semua ilmu agama yang diajarkan gurunya bisa diserapnya dengan cepat.
Tak hanya itu, untuk menambah pengetahuan agama, Ia pun disuruh untuk menimba ilmu kepada ulama lain. Tercatat di antaranya, ia pernah menuntut ilmu ke Pariaman di tempat Tuanku Mambang dan kemudian ke Batipuah Baruah, Padang Panjang, untuk mendalami ilmu fikih.
Ketika orang tuanya hendak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Djamil memutuskan untuk ikut serta. Tak hanya naik haji, ia juga menyempatkan diri menuntut ilmu di Makkah kurang lebih selama 11 tahun di Madrasah Halaqah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Ahmad Taher Djalaluddin.

Ahli Falak
Dari kedua ulama ini, ia mempelajari berbagai macam ilmu agama. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalaminya, yang membuatnya terkenal adalah di bidang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Makkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di Tanah Suci, Syekh Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari kampung halamannya yang belajar di Makkah. Di antara mereka adalah Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) dan Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, ia kembali ke tanah air. Syekh Djamil Djambek mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, yakni mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Murid-murid sekaligus sahabat yang berguru kepada Syekh Djamil Djambek adalah Dr Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Rahmah El-Yunusiyah (pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang), serta ulama-ulama lainnya.
Dakwah melalui pidato
Kepandaian dan keahlian Syekh Djamil Djambek memang luas. Tak hanya bidang fikih dan ilmu falak, ia juga menguasai ilmu retorika atau pidato.
Menurut Akhria Nazwar dalam bukunya Syekh Ahmad Khatib, Muhammad Djamil Djambek adalah orang pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, khususnya di Minangkabau.
Cara baru tersebut terbilang agak aneh, sebab cara pengajaran agama yang lazim dilakukan pada masa itu adalah dengan cara keterikatan pada kitab Jawi dan duduk melingkar (halaqah) bersama guru. Di samping, tradisi yang berlangsung saat itu adalah murid sengaja mendatangi guru ke surau.
Dibandingkan dengan pola pengajaran yang biasa digunakan pada masa itu, cara yang digunakan Syekh Djamil membuat para murid mudah untuk mempelajari dan memahami ilmu yang diajarkan.
Sebab, beliau memberi keterangan selengkap-lengkapnya saat berceramah, ditambah dengan pola dia yang justru mendatangi murid-muridnya ke kampung-kampung.
Pada tahun 1918, ia mendirikan surau di tengah sawah Bukittinggi. Di sinilah pusat pengajaran agama yang beliau dirikan bagi masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya. Tak sedikit muridnya yang hadir di setiap pengajarannya.
Tak hanya masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan terpandang saat itu juga turut belajar padanya. Di antara mereka ada yang berpangkat Tuanku, Labay, dan Fakih.
Materi yang diajarkan sangat beragam. Mulai dari telaah Alquran, ilmu falak, hingga ilmu pengetahuan umum. Terkait disiplin ilmu falak, Syekh Djamil pernah menyusun jadwal shalat dan imsakiyah Ramadhan.
Ia memadukan antara ilmu hisab dan rukyat. Jadwal shalat dan imsakiyah yang disusunnya ini diterbitkan pertama kali tahun 1911 atas nama sendiri, dan tak ada kesalahan dalam penghitungan atas almanak dan jadwal shalat itu.
Penyebaran dakwah lewat metode ceramah di muka umum tidak saja sebagai sarana utama, beliau juga mendirikan sebuah percetakan yang bernama Tsamaratul Ikhwan, pada tahun 1913. Percetakan ini khusus menerbitkan buku-buku kecil dan brosur-brosur tentang pelajaran agama untuk anggota, tanpa mencari keuntungan.
Semasa hidupnya, Syekh Djamil Djambek juga mempunyai peranan besar dalam membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau, khususnya Bukittinggi. Bersama-sama dengan Abdul Karim Amrullah sebagai pelindung dan pemagar organaisasi Muhammadiyah, yang waktu itu masih berusia seumur jagung.
Bergabungnya Djamil Djambek, ulama yang sangat disegani di Minangkabau, membuat kaum muda pergerakan Islam kian bersemangat untuk melakukan pembaruan pemikiran dan pengembalian orisinalitas amal, sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW. 
Syekh Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947, di Bukittinggi, dan dimakamkan di halaman sebuah surau di Pasar Bawah, tepatnya di seberang SMKN 2 Bukittinggi sekarang.
Pendidikan Islam ala Syekh Djamil Djambek
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek tidak bisa dilepaskan dari sejarah sistem pendidikan Islam di Sumatra Barat.
Atas usahanya, pada tahun 1911, dilakukan usaha pendidikan terhadap masyarakat melalui tablig, pidato, dan khutbah. Ia menyadari bahwa tidak semua masyarakat Islam dapat masuk ke surau untuk belajar.
Terlebih lagi pada masa itu, pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam sangatlah minim. Ajaran Islam yang mereka praktikkan adalah sebagai hasil pengetahuan dari mulut ke mulut, tidak langsung mengambil dari sumbernya, yaitu Alquran. Akibatnya, banyak praktik agama yang dianggap bertentangan dengan Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Menurut sejumlah sumber, penganut Islam yang seperti itu banyak terdapat di Sumatra Barat saat itu. Karenanya, kepada mereka itulah pendidikan Islam diajarkan oleh Syekh Djamil Djambek melalui tablig, pidato, dan khutbah.
Untuk melaksanakan ketiga hal ini, ia pergi mendatangi kampung sampai jauh ke daerah pedalaman Sumatra Barat. Di tempat tersebut, Syekh Djamil memberikan tablig dan pidato tentang ajaran Islam. Seperti cara berperilaku dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman, tidak mencampuradukkan antara yang halal dan haram, serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT.
Dan, melalui pidato dan tablig pula, Syekh Djamil Djambek melaksanakan pendidikan Islam dari luar jalur pendidikan formal. Sebab, wadah yang khusus untuk kegiatan itu memang belum ada. Usahanya ini mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh Islam Sumatra Barat lainnya, dan mereka mengikuti jejaknya. Metode pendidikan luar sekolah yang diajarkan beliau ini pada akhirnya berkembang luas pada paruh pertama abad ke-20.

Politik
Selain dalam dunia pendidikan, semasa hidupnya Syek Djamil Djambek juga pernah terjun ke dunia politik. Keterlibatannya dalam dunia politik secara intens berawal dari diperkenalkannya kebijakan Goeroe Ordonantie.
Dalam makalah mengenai kehidupan Syekh Djamil Djambek, yang disusun oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIBA) IAIN Padang, disebutkan bahwa Dr de Vries dari kantor Advisieur Inlandsche Zaken datang ke Minangkabau untuk menyusupkan kebijakan Goeroe Ordonantie ini.
Kebijakan ini dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru yang akan mengajar agama memiliki izin dari pemerintah. Kebijakan ini diberlakukan untuk mengawasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Peraturan ini sempat diubah pada tahun 1925 dengan hanya mewajibkan para guru agama memberitahu kepada pemerintah.
Misi yang dibawa Vries ini mendapat tantangan yang sangat keras dari tokoh-tokoh terkemuka Minangkabau masa itu, terutama dari kalangan ulama.
Orang terdepan dalam soal ini adalah H Abdul Karim Amrullah. Dalam hal ini, sikap ayah Buya Hamka ini berseberangan dengan Syekh Djamil Djambek yang dinilainya kurang berani menyatakan ketegasannya dalam menolak kebijakan tersebut.
Tentang sikap Syekh Djamil ini, lebih jauh Hamka menjelaskan, ''Kalau yang akan dibicarakan di surau beliau itu agak 'hangat', beliau akan 'demam' pada hari itu'' (Hamka, 1982).
Ketidaktegasan Syekh Muhammad Djamil Djambek menyikapi kebijakan Goeroe Ordonansi ini karena posisinya yang cukup dilematis. Sebab, dirinya memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Belanda.
Lebih lanjut Hamka berkata, ''Lebih baik dan lebih untung baginya, sebab dia sakit di hari itu, sebab baginya serba sulit. Hubungannya dengan pemerintah Belanda amat baik. Dia beroleh bintang.”
Sikap yang ditunjukkan oleh Syekh Djamil ini bukanlah diartikan sebagai sikap 'mendua'. Akan tetapi merupakan taktik dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Sebagai seorang ulama yang berpengaruh pada masa itu, setidaknya melalui Syekh Djamil akan tercipta komunikasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda.
Di tengah gejolak semangat pembaruan Islam pada bidang pendidikan, dan saat perhatian ulama terfokus untuk membenahi lembaga pendidikan, Syekh Djamil mengambil konsep lain dalam bidang ini. Ia ingin menunjukkan bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa terbatas pada tempat dan usia.
Selain itu, ia memiliki konsep pendidikan yang dijalankan dalam bentuk dakwah, tablig, dan ceramah. Konsep ini menurutnya merupakan cara yang tepat untuk pemerataan pendidikan agama terhadap masyarakat untuk semua tingkatan. Mulai dari yang tidak tahu tulis baca, hingga kepada kalangan masyarakat berpendidikan dan juga dari berbagai tingkatan sosial ekonomi.
Konsep pendidikan agama Syek Djamil Djambek ini merupakan suatu alternatif terbaik, setidaknya bagi masyarakat lokal hingga sekarang. Hal ini, bisa dilihat dari perkembangan terakhir, walaupun di daerah ini lembaga-lembaga pendidikan telah berkembang dengan baik, namun sistem pengajian dan ceramah model Syekh Djamil ini tetap bertahan.



Yahya Datuak Kayo [Jahja Datoek Kajo]

Dia diberi nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan nama itu mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu. Cobalah renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan Ismail. Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya yang gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama seperti nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras disandang oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya telah di persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera sejati, artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan Bapaknya bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya  telah dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang, segala sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.



Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman
Kepala Laras Sungai Puar

TUANKU LARAS adalah jabatan adat bikinan Belanda untuk mengontrol masyarakat Minangkabau. Gelar tuanku lareh (‘tuanku laras’), atau larashoofd (‘kepala laras’) dalam bahasa Belanda, cukup bergengsi di Minangkabau pada zaman kolonial. Mereka yang dipilih menjadi kepala laras biasanya berasal dari kalangan penghulu berpengaruh di suatu nagari yang bisa diajak bekerjasama oleh Belanda. Jabatan tuanku laras sebebarnya sangat pelik: ke atas ia harus loyal kepada Belanda, ke bawah ia harus melindungi rakyatnya. Banyak kepala laras yang masih memegang idealisme, tetapi tak sedikit yang dibenci oleh masyarakatnya sendiri karena secara langsung atau tidak mereka menjadi perpanjangan tangan kolonialis Belanda untuk menekan dan mengontrol masyarakat Minangkabau di nagari-nagari.Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menampilkan foto Kepala Laras Sungai Puar, Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman (dalam dokumen-dokumen Belanda namanya ditulis ‘Datoe Toemanggoeng Soetan Soeliman’). Foto ukuran 17,5×12 cm. ini dibuat oleh mat kodak Th. F.A. Delprat pada tahun 1890. Datuak Tumangguang berkuasa antara 1870-an sampai 1930-an. Ia dikenal dekat dengan Belanda dan cukup cerdik menggunakan jabatannya untuk kesejahteraan keluarganya. Rumahnya gadangnya yang besar di Sungai puar, dan termasuk yang termewah untuk ukuran waktu itu, acap kali kedatangan tamu-tamu penting orang Belanda (antara lain perintis pembuatan jalan kereta api, J.W. Ijzerman, peneliti Jerman Alfred Maas, dan mantan misionaris Meint Joustra). Para pengunjung Eropa itu sempat membuat foto interior rumah gadang milik Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman (lihat misalnya, buku Alfred Maas, Quer durch Sumatra: Reise-Erinnerungen. Berlin: Wilhem Süsserott, 1904; M. Joustra, Minangkabau: Overzicht van Land, Geschiedenis en Volk.Leiden: Louis H. Becherer, 1921). Foto-foto itu boleh dibilang cukup langka karena tidak banyak sebenarnya dokumen visual klasik yang memotret interior rumah gadang Minangkabau. Fotografer Delprat juga sempat memotret keluarga besar Datuak Tumangguang (akan kami tampilkan pada kesempatan lain).Gaya pakaian tuanku laras seperti dapat dilihat pada foto Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman di atas tampaknya mencerminkan pula posisi politiknya. Pakaiannya adalah kombinasi baju gaya Eropa dan pakaian pribumi, seolah-olah merepresentasikan posisi dilematis yang diembannya: antara membela kepentingan rakyat dan merealisasikan perintah-perintah dari atasan Belandanya. Salah satu hal yang sering situgaskan oleh Belanda kepada Tuanku Laras adalah mencari tenaga rodi untuk pembangunan jalan dan pekerjaan-pekerjaan lainnya untuk kepentingan Belanda. Sehingga waktu itu terkenal pantun: Daulu rabab nan batangkai / Kini kopi nan babungo / Daulu adat nan bapakai / Kini rodi nan paguno. Sekarang, jauh setelah era tuanku karas lenyap dari alam Minangkabau, hakikat baris isi pantun itu masih saja terasa, tapi mungkin harus diubah sedikit: ‘daulu adat nan bapakaikini ko pitih nan nyo tanyo’. ‘UUD (Ujung-Ujungnya Duit)’kata orang sekarang.



Pembantu Sumatera Expedition 1877 - 1879




Tuanku Panitahan di Sungai Tarab




Secara geopolitik tradisional, Kerajaan Pagaruyuang di masa lampau menerapkan konsep pemerintahan triumvirate ‘Rajo Tigo Selo’, yaitu ‘Rajo Alam’ yang berkedudukan di Pagaruyung, ‘Rajo Adat’ yang berkedudukan di Buo, dan ‘Rajo Ibadat’ yang berkedudukan di Sumpur Kudus. 
Mereka dibantu oleh ‘Dewan Menteri’ yang beranggotakan empat orang yang disebut ‘Basa Ampek Balai’, yaitu ‘Tuan Bandaro (Tuan Titah)’ di Sungai Tarab, ‘Tuan Kadi’ di Padang Gantiang, ‘Tuan Indomo’ di Saruaso, dan ‘Tuan Gadang (Harimau Campo Koto Piliang)’ di Batipuah.
Analog dengan konsep pemerintahan Pagaruyung itu, nagari-nagari dalam lingkungan budaya Minangkabau juga ‘perintah’ oleh tiga unsur pemuka masyarakat yang dikenal dengan istilah ‘Tungku Tigo Sajarangan’ atau ‘Tali Togo Sapilin’, yaitu Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai. Sistem ini paling tidak merepresentasikan pengintegrasian Islam dan intelektual sebagai hasil pendidikan sekuler (Barat) dengan adat Minangkabau selepas revolusi agama pada paroh pertama abad ke-19 (Perang Paderi).
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto penerus Tuan Bandaharo di Sungai Tarab di awal abad ke-20, yaitu Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah. Beliau memangku jabatan ini mulai 1923 sampai 1949. Foto ini berasal dari koleksi album keluarga almarhum yang disimpan di rumah gadang Panitahan di Sungai Tarab dan diolah oleh Made van de Guciano.
Menurut Made, setelah Yang Mulia Tuanku Menek Datuak Bandaro Putiah meninggal, beliau digantikan oleh Tuanku Basroel (1968-1993) yang tercatat sebagai Panitahan ke-7. Made, yang mendapat informasi dari Yan, salah seorang anak Tuanku Basroel, manambahkan bahwa sekarang jabatan ini dalam keadaan kosong. Berdasarkan informasi dari keluarga yang diterima Made, dapat diketahui bahwa jabatan Bandaro Sungai Tarab memang tidak selalu terisi; kadang-kadang jabatan itu terpaksa dibiarkan kosong karena tidak ada pemangku yang dianggap layak atau karena alasan-alasan lain.
Jika kita menapaktilasi sejarah kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia – sejak dari Aceh di Barat sampai ke Jailolo di Timur – dapat dikesan bahwa masing-masing kerajaan itu memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri yang unik, tak terkecuali Minangkabau.
Namun, bangsa Indonesia yang ‘mabuk demokrasi modern ala Barat’ ini selalu abai untuk menimba pelajaran dari khazanah budaya dan sistem politik milik nenek moyang sendiri yang mungkin mengandung nilai-nilai yang lebih rancak. (Sumber: Made van De Guciano, fb group ‘Palanta R@ntauNet’ (<http://www.facebook. com/#!/groups/21296781759/>; diakses 2 Januari 2012).
Suryadi – Leiden, Belanda








Senin, 21 Januari 2013

Air terjun dekat Sungai Pua sekitar tahun 1900


Surau Lintau



SUTAN HASYIM TUANKU TINGGI 
 Penghoeloe Kapala – in het Lintonsche.Secara tidak sengaja, saat klik sana klik sini di dunia maya, kami dikejutkan oleh adanya gambar di atas dari Tropen Museum di Leiden. Di sana tertulis bahwa gambar ini adalah gambar sebuah mesjid di Lintau. Takjub dan senang dengan adanya gambar foto lama yang masih disimpan oleh pihak museum Belanda, sebagai pengetahuan buat kita akan ketinggian seni arsitektur masa silam yang sangat piawai dalam membentuk bangunan rumah adat.
Sepintas kita lihat seperti bentuk sebuah roket yang siap luncur ke angkasa dihiasi oleh tanduk-tanduk rumah gadang seperti lazimnya rumah gadang di Minangkabau. Adanya sebuah rangkiang di sebelah kanan tampaknya membuat kita berpikir bahwa bangunan ini bukanlah sebuah mesjid, karena rangkiang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi bagi pemilik rumah gadang ini. Sangat tidak lazim di Minangkabau sebuah mesjid atau surau memiliki rangkian yang ditempatkan di sampingnya.
Mungkin kita berpikir bahwa gambar ini adalah gambar sebuah mesjid karena anjung tinggi yang menyerupai kubah atau menara mesjid ditempatkan pada lantai atas rumah adat ini. Yakinlah bahwa anjung tersebut merupakan symbol dari pepatah adat yang berbunyi: “adat basandi syara’ – syara’ basandi kitabullah”. Anjung atap yang menyerupai kubah atau menara mesjid ini juga akan banyak kita temui pada rumah-rumah adat di daerah Solok, namun di sana penempatan anjung atap yang serupa ini ditempatkan pada atap beranda rumah adat.
Yang perlu kita sampaikan di sini bahwa rumah adat seperti ini hanya ada satu di Lintau. Pemilik rumah adat ini adalah seorang bangsawan tinggi Minangkabau, putera dari seorang Rajo Adat di Buo, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang anak cucunya Bapak Fakhrudin Datuek Palindih, salah seorang tungganai di Tepi Selo. Hal senada juga dinyatakan oleh Bapak Azhar B, salah seorang cicit dari Sutan Hasyim Tuanku, di mana beliau mengaku pernah masuk ke dalam rumah ini pada era tahun 1960-an, bahkan bermain-main di anjung yang paling tinggi bersama-sama kakaknya.
Konfirmasi dari anak cucunya di Tepi Selo sudah cukup membuktikan bahwa rumah adat ini bukanlah bangunan sebuah mesjid, namun adalah bangunan rumah adat yang bercirikan pepatah “adat basandi syara’ – syara’ basandi kitabullah”. Jika kita teliti lebih lanjut, pada bagian sebelah kiri depan tampak garasi bendi bugih milik Sutan Hasyim Tuanku Tinggi, yang ditarik dengan kudo bagonto saat Sutan Hasyim Tuanku Tinggi menunaikan tugasnya sebagai Penghoeloe Kapala – in het Lintonsche dalam rangka melakukan inspeksi ke nagari-nagari yang berada di Lintau.
Saat sekarang ini tak banyak lagi orang mengetahui tentang sejarah Sutan Hasyim Tuanku Tinggi, walaupun namanya cukup banyak disebut dan dilaporkan oleh para pejabat sipil maupun militer yang pernah ditugaskan di Lintau atau Sumatera Barat. Dalam keterangan yang diberikan oleh anak cucunya, Sutan Hasyim Tuanku Tinggi hanya dijelaskan sebagai anak Rajo Adat di Buo, yang menetap di Kampung Rajo. Sebagai anak nagari Tepi Selo, Sutan Hasyim Tuanku Tinggi berasal dari pesukuan Kuti Anyie di Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Namun siapa dan bagaimana catatan kecil tentang Sutan Hasyim Tuanku Tinggi ini, mari sama-sama kita telusuri, malala-malala awak, dengan keterangan masa silam baik dari catatan yang ditinggalkan oleh Belanda maupun sejarah lisan dari para anggota keluarganya yang masih tersisa atau mungkin sempat tercecer dalam catatan singkat yang belum dipublikasikan.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh almarhum Haji Sabran Pahlawan Garang, salah seorang pewaris Kerajaan Adat di Buo, konon kabarnya saat Sutan Hasyim dilahirkan, ibunya Puti Fathimah Tuan Aciek Gadih Hitam wafat sesaat setelah persalinannya. Ayahnya adalah Rajo Adat Buo yang terakhir yaitu Nan Dipertuan Sembahyang Sultan Abdul Jalil Lukmanul Hakim Muningsyah.
Sebagai bayi piatu yang lahir tanpa mengenal ibunya, Sutan Hasyim dibawa ke Buo oleh ayahnya untuk dipelihara oleh neneknya Tuan Gadih Puti Reno Sari Alam, ibusuri Rajo Adat di Buo. Tuan Gadih Puti Reno Sari Alam adalah isteri dari Raja Adat di Buo yang terhadulu Nan Dipertuan Bakumih Sultan Abdul Jalil Shalahuddin Muningsyah. Iba melihat nasib cucunya yang piatu, Tuan Gadih kemudian mencarikan ibu susuan buat Sutan Hasyim dan mendapatkan seorang wanita dari pesukuan Caniago di Buo yang tidak diketahui lagi siapa namanya.
Sebagai upah untuk menyusukan Sutan Hasyim ini, keluarga dari pesukuan Caniago ini diberikan hadiah beberapa bidang sawah yang disebut Sawah Kubang Gajah yang berada di Barat, tidak jauh dari tapal batas antara Buo dengan Lubuk Jantan. Kelak setelah dewasa, Sutan Hasyim menikah dengan Reno Hilir, anak dari Gonti Omeh adik perempuan ibu susuannya di Buo, sehingga menimbulkan sedikit konflik adat di dalam nagari dengan sebab perkawinan jo dunsanak dari ibu susuan yang saat itu dilarang oleh adat yang berlaku.
Tidak ada catatan yang jelas tentang kapan kelahiran Sutan Hasyim ini. Hanya saja di dapat dari beberapa keterangan jika Sutan Hasyim wafat di awal abad 20, setelah perang belasting tahun 1908. Ia wafat di Tepi Selo dalam usia 85 tahun dan dimakamkan di Tepi Selo, tidak jauh dari Simpang Labueh Lintang. Pastinya keterangan ini juga diperkuat dengan cerita dari keluarga bahwa tak lama sebelum Sutan Hasyim wafat, Sutan Hasyim sering menjamu cicit-cicitnya untuk makan bersama di rumahnya. Saat itu salah seorang cucunya Buyung Kuning, cucunya dari Sutan Bagindo Hakim, diperintahkan oleh Sutan Hasyim untuk digendong oleh seorang hulubalangnya menuju rumahnya.
Saat itu sang cucu kesayangan berusia 9 tahunan, sehingga sudah tidak pantas lagi untuk digendong sebagai anak kecil. Kesimpulan dari keterangan ini, dapat diperkirakan jika Sutan Hasyim wafat di tahun 1917, karena sang cucu kesayangan lahir tahun 1908, saat perang Siti Hajir meletus di Lintau. Jika dinyatakan bahwa Sutan Hasyim wafat berusia 85 tahun, maka Sutan Hasyim diduga lahir tahun 1832, setahun sebelum Lintau ditaklukan untuk pertama kalinya pada tahun 1833. Jadi adalah wajar jika saat itu Sutang Hasyim diboyong oleh ayahnya ke Buo setelah ibunya wafat, karena saat itu Lintau masih dalam penguasaan pejuang paderi.
Sutan Hasyim dan juga kakak-kakaknya berada di Buo untuk selama setahun sebelum kemudian semua anggota keluarga kerajaan menyingkir ke Sumpur Kudus, setelah Lintau ditaklukan pada tahun 1833.
Dari sepenggal kisah tersebut dapat dimengerti kenapa Sutan Hasyim begabung dengan pejuang pidari. Selain ia kemudian harus mendukung perjuangan ayahnya Nan Dipertuan Sembahyang, Sutan Hasyim pasti juga melihat dengan mata kepalanya sendiri, akibat perang yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat Lintau yang penuh dengan banyak penindasan dan penganiayaan. Sutan Hasyim tumbuh besar dalam masa peperangan dimana ia pasti wajib untuk bahu membahu bersama saudara-saudaranya yang lain.
Walaupung Bonjol telah ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1837, namun perjuangan rakyat Minangkabau masih tetap berlanjut secara sporadis yang dipimpin oleh masing-masing kepala rakyat. Selama ini pengetahuan kita tentang perlawanan rakyat di Lintau hanya dipimpin oleh Saidi Muning Tuanku Lintau. Namun sejarah mencatat jika perlawanan tersebut hanya berlangsung sampai dengan tahun 1833, saat Lintau ditaklukan untuk pertama kalinya oleh Mayor de Quay dan Saidi Muning Tuanku Lintau menyingkir ke daerah Palalawan, Kampar Kiri dan dibunuh secara licik oleh Belanda di sana.
Setelah penaklukan Lintau tahun 1833 tidak berarti perlawanan rakyat Lintau berakhir seperti yang dicatat oleh Eerste Liutenant Hnedrick yang ditugaskan sebagai Komandan Militer untuk wilayah Lintau dan Koto Tujueh, yang melaporkan jika sang komandan masih direpotkan oleh perlawanan rakyat sampai dengan tahun 1855, dicatat adanya pertempuran antara Belanda dengan rakyat yang dipimpin oleh Nan Dipertuan Sembahyang bersama anak-anaknya.
Berdasarkan catatan yang sampaikan oleh E. Netscher, Residen Sumatera Barat saat itu , dalam bukunya yang berjudul “Aanteekeningen Omtrent Midden-Sumatera, Aan Officiele Bescheiden Ontleend”, yang terbit tahun 1880 (halaman 45-47), jelas dinyatakan bahwa pada tahun 1864, Sutan Hasyim pernah datang menghadap menghadap Residen untuk memintakan amnesti dari Pemerintah Belanda untuk atas nama ayahnya agar Rajo Adat di Buo dapat pulang ke Lintau, bermukim di Buo dan berjanji untuk tidak melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan menyerang pos-pos Belanda di Lintau dan Koto Tujueh.
Dari catatan tersebut dapat disimpulkan jika Sutan Hasyim sudah menyerah kepada Belanda dan oleh Belanda Sutan Hasyim diberikan jabatan sebagai Penghulu Kepala untuk wilayah Lintau. Namun permintaan Sutan Hasyim tersebut ditolak mentah-mentah oleh Belanda dengan alasan bahwa Sutan Hasyim dan ayahnya pernah memimpin rakyat Lintau untuk memberontak kepada Belanda. Dalam pandangan Belanda akan lebih baik jika Nan Dipertuan Sembahyang hidup jauh dari rakyatnya dan mudah untuk mengawasi rakyat Lintau dengan menjadikan Sutan Hasyim sebagai Penghulu Kepala.
Dari sepotong cerita E. Netscher dan juga dapat kita temui pada laporan yang lain yang ditulis oleh de Stuers dan H.M. Lange ada beberapa pertempuran di Lintau yang dipimpin oleh Nan Dipertuan Sembahyang yang pastinya melibatkan Sutan Hasyim dan saudara-saudaranya yang lain dalam perlawanan tersebut. Pertempuran di Talang, Lubuk Jantan yang dicatat Liutenant Hendriks tahun 1850, mendesak pasukan Nan Dipertuan Sembahyang menyingkir ke Sumpur Kudus. Dalam pertempuran itu dicatat Nan Dipertuan Talang, anak Raja Ibadat terakhir gugur sebagai pejuang dan menurut cerita jenazahnya dimakamkan di Laras Air tidak jauh dari Bukit Sigulieng Boreh.Namun demikian perjuangan rakyat Lintau masih terus berlanjut sampai kemudian dinyatakan berakhir pada tahun 1855.
Sadar akan posisinya sebagai Penghulu Kepala di Lintau, Sutan Hasyim masih dapat menjamin untuk kepulangan beberapa anggota keluarganya menuju Lintau, termasuk dua orang anak sepupunya dari pihak bako pulang ke Buo, Tuan Gadih Puti Dina dan Sutan Sayidina Abbas Tuan Bujang Panji Alam. Kedua anak ini adalah cucu Tuanku Radin Sunnah, Yamtuan Besar Negeri Sembilan yang banyak membantu perjuangan rakyat Lintau melawan Belanda, melalui putera tertuanya Tunku Lintau Tuanku Besar Seri Menanti.
Sutan Hasyim tidak dapat berbuat apa-apa lagi membantu keluarganya, hatinya sedih teramat mendalam karena sang ayah tercinta tidak diijinkan Belanda untuk pulang ke kampung halamannya. Keberadaan makam Sutan Lembang Lawik dan Datuk Marajo di ustano rajo Cerenti, Kuantan Singingi, sudah membuktikan kepada kita bahwa kedua orang kakak Sutan Hasyim juga tidak diijinkan oleh Belanda untuk pulang ke Lintau setelah perang.
Tinggallah Sutan Hasyim seorang diri yang haya diangkat Belanda sebagai Penghulu Kepala, di mana kemudian rakyat Lintau menghormatinya dengan gelar Tuanku Tinggi. Masyarakat Lintau belumlah lupa jika Sutan Hasyim Tuanku Tinggi memiliki kantor resmi di balai-balai adat Nagari Balai Tangah. Dari sanalah Sutan Hasyim Tuanku Tinggi mengatur dan menjalankan tugasnya sebagai Penghulu Kepala untuk jangka waktu yang cukup lama.
Sutan Hasyim selama hidupnya ada menikah dengan beberapa orang wanita. Dicatat jika Sutan Hasyim menikah dengan Puti Saratika di Rumah Tabieng Lubuek Jantan dan memiliki dua orang anak yaitu Sutan Malinggam Aceh Datuk Simarajo Tuanku Mudo Nan Godang dan Puti Halimatus Sa’diyah Tuan Aciek Rumah Tabieng. Di Rumah Labueh Kumbueng Lubuk Jantan, Sutan Hasyim memiliki seorang anak perempuan yang dikenal dengan sebutan Tuo Labueh Kumbueng.
Sutan Hasyim juga menikah dengan Reno Hilir di Buo yang memberinya empat orang anak yaitu Sutan Ibadat, Puti Cahayo Rajo, Puti Mayang Taurai dan Puti Koroeng. Sutan Ibadat kemudian diangkat menjadi Khatib Mesjid di Buo dengan gelar Sutan Khatib. Di Tepi Selo Sutan Hasyim juga diketahui memiliki beberapa orang isteri dan anak. Sayangnya belum dicatat secara baik sehingga yang bisa disebutkan disini hanya satu orang anak Sutan Hasyim, yakni Sutan Bagindo Hakim Datuek Rajo Penghulu.
Pemberian nama Sutan Bagindo Hakim kepada anaknya di Tepi Selo, konon kabarnya karena Sutan Hasyim sedang berduka saat ia tidak bisa membawa ayahnya pulang ke Lintau. Dengan mengambil kata Hakim dari nama ayahnya Sultan Abdul Jalil Lukmanul Hakim Muningsyah, seakan-akan memintanya untuk selalu mengingat ayahnya yang jauh di pengasingan atau bisa jadi karena ada kemiripan wajah antara cucu dengan kakeknya.
Sekelumit kisah lama ini harus diangkat kembali, dipublikasikan kepada masyarakat agar tidak menjadi kisah yang memitologi.
Inilah sepotong kisah anak Lintau yang turut membela bangsa dan negerinya dari penjajah yang jauh dari negeri yang jauh. Kehormatan ayahnya adalah symbol kehormatan tanah airnya yang wajib dibela dengan taruhan apapun. Jika kemudian Sutan Hasyim Tuanku Tinggi harus menyerah kepada Belanda, bahkan kemudian diangkat menjadi Penghulu Kepala di Lintau, itu bukan berarti bahwa Sutan Hasyim Tuanku Tinggi adalah pengkhianat.
Kedudukan Sutan Hasyim sebagai Penghulu Kepala adalah jaminan buat seluruh anggota keluarganya yang diijinkan oleh Belanda untuk pulang ke Lintau setelah perang dinyatakan selesai. Kita dibuktikan dengan adanya beberapa negosiasi yang dilakukan oleh Sutan Hasyim sejak tahun 1861 demi untuk mendapatkan ijin agar ayahnya Rajo Adat di Buo bisa pulang ke Lintau. Jika kemudian Balanda hanya mengijinkan wanita dan anak-anak untuk pulang ke Lintau, itu sudah merupakan taktik Belanda untuk mencegah perlawanan rakyat timbul kembali.
Kembali ke Lintau dan menjadi Penghulu Kepala, itu artinya Sutan Hasyim Tuanku Tinggi adalah satu-satunya otoritas lokal tertinggi yang diakui Belanda. Itu sebabnya adalah wajar jika kemudian dua orang bule petinggi Belanda ini berkenan untuk berfoto bersama Sutan Hasyim Tuanku Tinggi di depan rumah adatnya yang artistik dan tidak ada duanya, untuk dapat kita lihat saat sekarang ini seperti gambar di atas.
Perhatikan seorang kakek tua yang duduk di serambi yang memakai saluek gadang dan baju beskap berwarna putih. Posisi gaya duduk sang kakek sangat aristokrat dengan sebuah tongkat yang memanggul tangan kanannya, seolah-olah memberitahukan kepada kita bahwa beliau adalah penguasa rumah adat itu. Nah sekarang, siapakah rakyat Lintau yang berani berfoto dan bergaya di serambi rumah milik seorang penghulu kepala di Lintau seperti yang kita lihat pada foto di atas? Sepintas wajah bujur sirih sang kakek tua itu mengingatkan kami kepada salah seorang cicitnya yang konon memang mirip dengan Sutan Hasyim Tuanku Tinggi.
Saat ini kita hanya dapat memandangi sehelai foto saja karena bangunan fisik rumah ini betul-betul sudah menjadi reruntuhan. Bangunan rumah adat ini masih dapat terlihat dengan jelas sampai dengan awal tahun 1970-an, setelah itu reruntuhannya hanya bermanfaat sebagai kayu bakar bagi para etek dan uwo yang mau memasak nasi di dapur. Sungguh sangat-sangat disayangkan kita sudah tidak bisa melihat lagi rumah adat ini seperti di Rumah Seberang Parik di Lubuk Jantan.
Walaupun hanya sehelai foto yang masih bisa kita lihat sekarang, maka dengan bekal foto inilah, mari kita bangun kembali rumah adat tercantik yang pernah dibuat orang di Lintau, yang fakta sejarah mengatakan bahwa rumah adat itu milik seorang bangsawan tinggi yang pernah berjasa buat tanah air yang dicintainya. Dialah Sutan Hasyim Tuanku Tinggi, Penghoeloe Kapala – in het Lintonsche.
nb: Desman Effendi 


Masjid Tua

Masjid Padang Luar



Masjid Jamik Taluak Bukittinggi

1860




Masjid Bengkudu dengan kolam di sekitarnya di dekat Bukittinggi, 
1895




















Masjid Raya Gantiang Padang 
1805


















Masjid Rao Rao 1908

Masjid Pincuran Gadang
Terdapat di Matur Hilir, persisnya terletak di Pincuran Gadang. Disinilah kitab mulai dikembang, ajaran Islam mulai difatwakan keseluruh anak negeri disekitar penghujung abad ke XVII oleh beliau Tuanku Abdul Hamid.

MASJID KOTO BARU PANGKALAN LIMAPULUH KOTA
1837